Selasa, 09 Maret 2021

Banyak yang Lupa Menjelang Nyepi, Natab Biakaon: Manka, Cara dan Waktu Mebiakaonan

 

Banyak yang Lupa Menjelang Nyepi, Natab Biakaon: Manka, Cara dan Waktu Mebiakaonan
Tak terasa Hari Raya Nyepi sudah semakin dekat ya, Semeton se-Dharma? Apakah sudah mempersiapkan Banten untuk Mebiakaonan?
 Apa sih tujuan dan makna Mebiakaonan? 
Masih banyak saudara kita yang belum tau, lupa, atau jarang menjalani upakara ini, maka dengan itu saya coba membuka buku dan sambil belajar membuat Banten Mebiakaonan saat hari suci Nyepi tiba, makna dan tujuan Mebiakaonan, dibawah ini. 

Natab Biakon atau biakala merupakan salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi) yang dilakukan di halaman rumah, pada saat “sandikala”. 

Sarananya upakaranya sendiri terdiri dari,  “biakala, prasita (prayascita), sesayut lara melaradan”. Dimulai dengan “tepung tawar” (penawar / penetralisir) kekuatan negatif dalam “angga sarira” (badan). Dilanjutkan “kekosot/kekosok” yang terbuat dari pucuk pandan/alang-alang, dengan cara memutar di kedua belah telapak tangan. 

Maknanya adalah membersihkan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran kekosok ini diyakini menimbulkan angin kencang (ngelinus) secara niskala, untuk menghempaskan “mala” (kotor), “rogha” (penyakit), “lara” (derita) pada jasmani dan rohani.

Setelah itu mengikatkan benang “barak” (merah) di kaki, simbol “ngeseng” (membakar) “sehananing mala” secara lahir batin. Dilanjutkan natab, dimana ayunan tangan diarahkan ke kaki / bawah. Bermakna pelepasan mala kembali ke Pertiwi. Natab diarahkan ke kaki, karena kaki setiap saat kontak dengan pertiwi. Sehingga natab biakaon sering disebut “natab batis”.

Selanjutnya “meprasita”, memohon penyucian jasmani dan rohani. Didahului berkumur air “bungkak nyuh gading” dan minum tiga kali. Dilanjutkan “metirtha prasita” memakai “lis prasita” (janur berbentuk senjata dewata). “Ngelis” artinya “mengupas” semua kekotoran untuk menyucikan jasmani dan rohani. Selanjutnya “sesarik / sesedep” di kepala dan dahi sebagai simbol limpahan amerta, kesejahteraan, kemasyuran. Dilengkapi benang putih di kepala simbol kesucian rohani dan diikatkan di tangan simbol kesucian jasmani .

Selanjutnya natab Sesayut Lara Melaradan, memohon kepada Sanghyang Ibu Pertiwi agar dijauhkan dari “lara melaradan” (penderitaan berkepanjangan). Natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan.

Prosesi natab biakaon diakhiri dengan “ngukup”, kedua telapak tangan ditungkupkan di atas asap pengasepan, lalu diusapkan ke wajah tiga kali, ke dada tiga kali dan kaki tiga kali. Simbolisasi menyambut anugrah kesucian pikirian, perkatan, dan perbuatan.

Prosesi ini adalah simbol nyomia bhuta dalam ruang lingkup Bhuana Alit. Setelah penyucian diri, barulah mebuwu-buwu / ngerupuk dalam rangka nyomia bhuta di Bhuana Agung.

Mengapa natab biakala pada sandikala?

 Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Saat ini terjadi peralihan kekuatan unsur-unsur kosmik alam semesta. Waktu yang baik untuk pelepasan ma¬la (kotor) dan memohon pemarisuda. Itu pula mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala, atau mecaru dilakukan pada “tengai tepet”, waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa.

Lalu… kenapa natab biakaon dilakukan di halaman?. Agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar