Semua pasangan menjalin hubungan sampai jenjang pernikahan pasti ingin hubungan mereka erat sampai menutup usia/kakek-nenek. Di tengah-tengah hubungan berjalan pasti ada saja getaran, masalah-masalah yang datang bisa di selesaikan secara cepat dengan membicarakannya bersama dan memperbaiki yang buruk.
Namun, jika ada pasangan entah si suami atau si istri berkhianat dan tidak setia, jalan akhir adalah bercerai. Dalam Hindu dan di kutip dari Reg Weda bahwa perceraian itu sudah melanggar Yadnya yang sudah dilakukan. Namun pasangan suami dan istri ingin berpisah tentu sudah dipikirkan dengan matang dari kedua belah pihak.
Baca Juga: Cara Memilih Hari Baik Menikah Menurut Hindu Bali (Dewasa Ayu Nganten)
Proses Perceraian Dalam Hindu Dengan Istilah Tri Upasaksi.
- Butha Saksi, Manusa saksi dan Dewa Saksi dalam upacara perwakinan Hindu Bali.
- Butha Saksi, Bebanten yang ditujukan (di ayab) dan diletakkan di bawah (biyakoanan, pekala-kalan, pedengan-dengenan) sebagai pralambang
- Manusa Saksi, lebih kepada pengesahan perkawinan sesuai dengan undang-undang perkawinan acara ini dihadiri oleh masyarakat, dimana petugas desa/adat (prajuru). Akta Perkawinan adalah bentuk manusa sakti selaku wakilnya sebagai manusa saksi.
- Dewa Saksi, adanya bebanten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi dan pemerajan/sanggah sebagai perwujudan dewa saksi.
- Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
- Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
- Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
- Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
- Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
- Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
- Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Artikel diolah dari:
Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali(MUDP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar