Setiap agama pasti memiliki orang suci sebagai penuntun dan pencerah dalam pendakian spiritual masing-masing umat. Tidak terkecuali umat Hindu, yang juga memiliki orang suci dan biasa disebut sebagai sulinggih. Seseorang yang menjadi sulinggih telah melewati proses dwijati atau diksa yakni lahir untuk kedua kalinya. Lahir pertama secara biologis, dan lahir kedua secara spiritual.
Meski semua orang berhak menjadi seorang sulinggih, namun ternyata itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Mereka yang ditempatkan mulia di antara umat itu, memiliki tanggung jawab berat sebagai orang suci. Banyak pantangan yang harus diikuti, serta harus menjauhkan diri dari ikatan, nafsu dan duniawi.
Siap menjadi Sulinggih, harus siap menjauhi nafsu duniawi seperti penjelasan berikut ini;
1. Sulinggih adalah orang yang diberikan kedudukan mulia karena kesucian diri dan perilaku luhurnya
Sulinggih merupakan orang suci yang kedudukannya dimuliakan oleh umat Hindu. Jika ditilik berdasarkan arti katanya, Su berarti baik, mulia atau utama. Sedangkan linggih berarti tempat atau kedudukan. Sehingga sulinggih bermakna mendapat kedudukan mulia di masyarakat.
Mereka dimuliakan karena telah melalui proses upacara diksa atau dwijati, yakni lahir sebanyak dua kali. Lahir pertama adalah lahir secara biologis dari rahim ibu. Sedangkan lahir kedua adalah lahir dari proses spiritual. Lahir kedua ini dianggap sebagai penyucian lahir bathin, agar sulinggih disebut sebagai orang suci.
“Sulinggih sebenarnya seorang Brahmana (Salah satu golongan dari Catur Warna yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan maupun pengetahuan Ketuhanan untuk mencerahkan spiritual umat Hindu). Nama sulinggih ada banyak. Seperti Ida Pedanda, Ida Pandita, Ida Dukuh, Ida Sri Mpu, Ida Rsi, Ida Bhagawan, dan sebagainya. Nama kesulinggihannya biasanya berkaitan dengan nama keluarga besarnya.
2. Sulinggih memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berat
Apabila seorang walaka (Manusia biasa) ingin meningkatkan diri menjadi sulinggih, harus menyadari betul tahap yang akan ditempuh dan kewajiban-kewajibannya setelah dikukuhkan menjadi seorang Brahmana. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi pada dirinya, maka sulinggih bisa menjadi seorang Brahmana sejati.
Adapun beberapa kewajiban sulinggih, mengutip dari buku berjudul “Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sesana)” karya Gede Sara Sastra, yaitu:
- Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa setiap hari, seperti Surya Sewana (Pemujaan setiap pagi saat matahari terbit)
- Adhyaya: tekun belajar, mendalami Kitab Suci Weda, Tattwa, tutur-tutur dan sebagainya
- Adhyapaka: mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, serta bimbingan rohani lainnya
- Swadhyaya: rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh Nabe-nya
- Dhyana: merenungkan Brahman (Tuhan) dan hakikat yang dipuja.
- Surya Sewana, yaitu pemujaan kepada Sang Hyang Widhi setiap pagi (Saat matahari terbit)
- Memimpin upacara Yadnya
- Ngelokapalaraya, yakni membina dan menuntun umat di bidang agama dan spiritual
- Melayani umat yang memerlukan tuntunan
- Menerima punia dari umat
- Memberi teladan dan contoh kepada umat.
3. Sebagaimana orang suci, sulinggih memiliki banyak pantangan. Mulai dari tidak boleh memamerkan kepandaian, mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya, hingga tidak boleh makan daging babi peliharaan
Masih mengutip dari buku yang sama karya Gede Sara Sastra, sulinggih memiliki banyak pantangan atau larangan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Yaitu:
- Tidak membunuh
- Tidak berdusta dan memfitnah
- Tidak bertengkar
- Tidak memamerkan kepandaian
- Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak mendapat persetujuann dari kedua belah pihak
- Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya, kotor, dan pedas hingga menyakiti telinga
- Tidak boleh berkata-kata sambil memaki sumpah serapah
- Tidak boleh berhasrat jahat pada orang lain
- Tidak boleh mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya
- Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang
- Tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang
- Tidak boleh terlibat hutang piutang
- Tidak boleh segala usaha mencari keuntungan
- Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa
- Tidak boleh mementingkan diri sendiri
- Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
- Tidak boleh ingkar dan mengabaikan kewajiban
- Tidak berzina (Selingkuh)
- Tidak boleh memerintahkan mencuri
- Tidak bersahabat dengan pencuri, tidak memberikan tempat pada pencuri, termasuk tidak memberikan makan dan minum, memberi pertolongan dan tidak menerima hasil pencurian
- Tidak boleh mengendarai sepeda motor atau mobil (Pegang setir sendiri)
- Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
- Tidak boleh makan ayam di desa (Ayamwanwa)
- Tidak boleh makan daging binatang buas, binatang berkuku satu, dan binatang berjari lima
- Tidak boleh makan ikan yang terlalu besar dan ikan yang buas
- Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan di bawah benda-benda yang tidak suci
- Tidak boleh minum minuman keras, semua jenis susu dari binatang buas, serta susu kental sisa sapi yang habis menyusui
- Dilarang menempati tempat atau tanah terlarang
- Tidak boleh mengadakan perjudian
- Tidak boleh mengunjungi tempat perjudian, rumah tukang potong, tempat pelacuran, dan tempat sejenis,
- Serta pantangan lainnya yang jauh dari kebenaran dan kesucian.
4. Berikut ini syarat-syarat menjadi sulinggih berdasarkan Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa:
Seseorang yang ingin menjadi sulinggih harus melalui proses berguru (Aguron-guron) lebih dulu. Ia berguru pada seorang nabe (Guru) yang sudah berstatus sulinggih. Biasanya sulinggih yang dijadikan nabe adalah sulinggih senior, pengetahuan agama dan Ketuhanannya sudah dalam, paham Weda, serta teguh melaksanakan Dharma Sadhana (Jasa, amal, dan kebajikan).
Namun nabe juga tidak akan sembarangan dalam menerima murid, karena tanggung jawabnya juga berat. Dalam Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh PHDI, sekaligus juga berdasarkan Lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu yang telah memenuhi syarat-syarat seperti di bawah ini:
- Laki-laki yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Sukla Bramhacari)
- Perempuan yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Kanya)
- Pasangan suami istri
- Minimal usia 40 tahun
- Paham dengan Bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, dan pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
- Sehat lahir bathin dan berbudi luhur
- Berkelakuan baik, tidak tersangkut perkara pidana
- Tidak terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan
- Mendapat tanda kesediaan dari calon nabenya yang akan menyucikan.
5. Dalam beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda
Meskipun dalam syarat-syarat tersebut menyebutkan minimal berusia 40 tahun, namun pada beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda.
“Itu tergantung keberanian nabenya. Apabila nabe memandang bahwa itu sudah cukup, maka siswa akan dilahirkan melalui upacara diksa atau dwijati. Kalau belum, akan sampai lama. Di sini nabe yang punya kewenangan.
Menurutnya, dalam Kitab Manawa Dharmasastra, proses siswa berguru pada nabenya paling lama 10 tahun. Namun paling cepat ada yang setahun atau dua tahun. Di sini, faktor nabe juga sangat menentukan. Itu sebabnya peran dan tanggung jawab nabe juga sangatlah berat.
“Nabe tidak mau menerima sembarang murid karena tanggung jawabnya berat. Apa yang menjadi kesalahan murid, kemudian berbagai hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai murid, nabe yang paling pertama bertanggung jawab bila murid melakukan kesalahan. Tanggung jawabnya adalah dengan membina atau mencabut kesulinggihannya. Itu nabe yang punya wewenang,” ungkapnya.
6. Jika dirasa sudah cukup, maka sang guru akan mengajukan muridnya untuk dilakukan upacara diksa menjadi sulinggih, dengan persetujuan dari keluarganya
Setelah proses bergurunya dianggap layak menjadi sulinggih, maka calon diksa mengajukan permohonan untuk melakukan upacara diksa. Prosedur administrasi untuk melakukan diksa ini ditujukan kepada PHDI setempat. Selambatnya tiga bulan sebelum melakukan upacara diksa. Syarat yang perlu dilengkapi harus sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh PHDI.
“Pertama harus ada persetujuan keluarga. Keluarga kecil dulu, setelah itu keluarga besar. Lalu syarat lainnya ada kelakuan baik, tidak pernah dihukum, tidak cacat. Tidak dalam status perkara atau masih ada status perkara. Paham tentang sastra, kitab suci dan teknologi. Wajib bisa baca tulis karena beliau nantinya harus nyastra,” kata Sudiana.
Setelah mendaftar, calon sulinggih wajib memiliki tiga nabe. Yakni Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Nabe Napak sebagai nabe yang melahirkan, Nabe Waktra yang memberi wejangan, dan Nabe Saksi yang mengamati serta menyaksikan proses kelahiran siswanya menjadi seorang sulinggih.
“Waktu mendaftar ke PHDI, calon diksa baru memiliki Nabe Napak saja. Setelah mengajukan permohonan ke PHDI, Nabe Napak selanjutnya menentukan dua nabe lainnya yang dikehendaki. Setelah permohonan diterima PHDI, kemudian PHDI yang koordinasi ke panitia untuk melaksanakan diksa pariksa. Semacam uji lisan baik dari sisi integritas, komitmen, kesungguhan, kesucian, perilaku, psikologi, semuanya dites,” papar Sudiana yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa ini.
Dari proses diksa pariksa dan jawaban yang diberikan oleh calon diksa, ketiga nabe kemudian rembug untuk memutuskan apakah calon diksa layak didiksa atau ditunda karena kemampuannya dipandang belum cukup. Jika nabe memutuskan calon diksa layak untuk dilakukan upacara diksa, maka selanjutnya proses madiksa bisa dilakukan pada hari baik yang telah ditentukan.
“Jika misalnya calon diksa masih dinilai belum layak, maka untuk sementara ditunda sampai beliau bisa memenuhi syarat kembali. Berikutnya laksanakan lagi ulang diksa pariksa. Bila nabe berani memutuskan, maka hasilnya diumumkan kepada umat yang menyaksikan bahwa calon sulinggih sekarang ini bisa dilanjutkan untuk pelaksanaan upacara madiksa,” terangnya.
7. Setelah didiksa, akan diberikan SK oleh PHDI. Namanya kemudian diganti (abhiseka) dengan nama kesulinggihan yang diberikan oleh sang nabe
Setelah lulus diksa pariksa, kemudian calon diksa menjalani upacara pada hari baik yang telah ditentukan. Secara umum, pelaksanaannya dimulai dari berkunjung ke rumah nabe (Mapinton) dengan membawa upakara-upakara sebagaimana mestinya. Dilanjutkan dengan pamitan pada keluarga, serta melakukan pembersihan diri.
Pada upacara puncak, calon diksa akan menjalani proses seda raga (Mati raga) yang berlangsung sehari sebelum upacara diksa. Pada dinihari setelah menjalani amati raga, calon diksa kemudian dimandikan dan diberikan pakaian serba putih. Selanjutnya melakukan pemujaan yang dipimpin oleh nabe.
Begitu upacara diksa selesai, barulah diberikan Surat Keputusan (SK) bahwa benar yang bersangkutan telah menjalani proses diksa atau dwijati dan namanya terdaftar di PHDI. Sejak saat didiksa, namanya sudah berubah dari nama walaka (Nama sewaktu menjadi manusia biasa) menjadi nama sulinggih yang diberikan oleh nabenya.
“SK ini dibacakan oleh PHDI sekaligus memberikan dharma wacana. Setelah dibacakan keputusan itu, ada tembusannya kepada PHDI Kabupaten/Kota, Bali, dan Pusat, Kanwil Agama, Gubernur Bali, dan Bupati/Walikota se-Bali. SK itu dikirim dan nanti tercatat di bagian Kesra Kabupaten/Kota dan ditembuskan ke Provinsi,” kata Sudiana.
8. Sulinggih melakukan diksa wajib diketahui oleh PHDI.
Secara pasti apakah status kesulinggihannya dianggap sah atau tidak. Sebab menurutnya, PHDI bukan lembaga justice (Hukum). Tetapi berdasarkan penilaiannya, yang bersangkutan bisa saja disebut sulinggih namun tidak melalui mekanisme yang formal dan tidak tercatat di PHDI.
“Secara formal, lembaga yang berwenang hanya PHDI. Bila ada lembaga lain yang melakukan, ya tidak formal itu. Proses diksa wajib melalui PHDI. Apabila tidak melalui PHDI, ketika melakukan proses kesulinggihan itu bagaimana? Jika dijawab dengan sah dan tidak sah, agak berat. Tapi yang jelas, belum melalui mekanisme yang lengkap. PHDI tidak bertanggung jawab karena tidak tahu dan tidak dicatatkan di pemerintahan.”
9. Jika melakukan pelanggaran hukum dan pantangan, sang nabe berwenang untuk mencabut status kesulinggihannya
Seperti pernyataan di awal, menjadi sulinggih sangatlah berat. Karena sulinggih dianggap mewakili Tuhan dalam wujud sebagai orang suci. Sulinggih sudah menjauhi ikatan, nafsu, dan duniawi. Apabila tidak memiliki jiwa seperti itu, mungkin akan sangat berat.
Bagaimana jika sulinggih melakukan kesalahan atau melanggar pantangan-pantangan akibat ketidakmampuannya mengendalikan diri? Menurut Sudiana, status kesulinggihannya bisa dicabut oleh sang nabe.
“Dicabut kesulinggihannya karena ingin menikah lagi, berkaitan dengan hukum dan diputus di pengadilan. Misalnya sulinggih tersandung masalah hukum, kesalahannya sudah jelas, maka nabelah yang berwenang mencabut dan menyusul surat dari PHDI berdasarkan atas izin nabe. Pencabutan disaksikan oleh semuanya. Termasuk keluarga juga. Kalau belum siap, lebih baik jangan (Menjadi sulinggih), karena sangat berat.”
Namun nabe kemungkinan tidak melakukan pencabutan gelar kesulinggihan, tergantung dari besar kecilnya kesalahan siswanya.
“Bila tidak terlalu, mungkin akan dibina. Biasanya nabe pasti akan tegas dan mencabut. Belum sampai ada informasi ke kami kalau ada kasus pidana seperti pemerkosaan atau pelecehan. Yang ada baru masalah perkawinan, karena sulinggih memang tidak boleh menikah lagi,” katanya.
Bila setelah dilepaskan status kesulinggihannya, kemudian yang bersangkutan ingin menjadi sulinggih lagi, bisa saja diulang jika nabenya memang mau. Namun jika perbuatannya mengarah ke perbuatan pidana, dikhawatirkan masyarakat tidak respect lagi dengan sulinggih sebagai rohaniawan Hindu.
“Bila ada kasus yang melibatkan sulinggih, itu sangat sensitif. Apalagi kasusnya berat, kita khawatir nanti masyarakat tidak respect kepada sulinggih. Beliau adalah rohaniawan yang sangat dihormati. Jika masyarakatnya cerdas, tentu bisa memilah, tidak menggeneralisir (Menggeneralisasi).” Rahayu Baliku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar